Selasa, 30 Oktober 2012

Drg Oei Hong Kian: Bung Karno Pasien Saya (3)

Intisari-Online.com - Awal tahun 1967, saya didatangi dokter pribadi Bung Karno, dr. Tan. Katanya, BK sakit gigi. Saya diminta segera datang ke istana. Saya belum pernah merawat gigi BK, karena BK biasa berobat pada drg. X, yang saat itu sudah pindah ke luar negeri.

Tetap senang bergurau

Setelah acara basa-basi itu, saya persilakan BK masuk ke kamar praktik dari pintu di dalam rumah. Seorang prajurit mengikuti kami. Saya tidak bisa bekerja sambil ditunggui, jadi saya memintanya menunggu di luar. Untunglah ia mau mengerti, walaupun semula menolak.

Saya dibantu keponakan istri saya, seorang wanita dokter gigi. BK rupanya selalu ingat pada nama-nama orang yang dijumpainya. Setelah itu kalau keponakan istri saya tidak ada, BK tak pernah lupa menanyakannya.

Saya merasa lega melihat BK tidak dalam keadaan menyedihkan. Saya sudah menanyakan kepada dokter pribadinya, apakah BK boleh mendapat suntikan kalau diperlukan. "Boleh saja," jawabnya.

Pria yang duduk di kursi praktik saya itu ternyata masih tetap berpikiran jernih. Sikapnya masih riang seperti dulu-dulu dan percakapannya juga penuh humor. Sambil melepaskan pecinya, BK bertanya, "Saya ingin tahu apakah Pak Dokter masih bisa menghargai foto saya."

"Pak," jawab saya, "Bapak tentu pernah memberikan foto Bapak kepada banyak orang, tetapi karena Bapak mengirimkannya kepada saya pada saat itu, foto itu tinggi nilainya bagi saya."

Jawaban itu bukan saya berikan dengan basa-basi. Saya belum lama mengenal BK. Saat ia sangat terpukul karena pamornya merosot, ternyata ia masih ingat menyampaikan cendera mata kepada saya. Apakah itu penghargaan atas pelayanan saya sebagai dokter gigi, ataukah tanda mata bagi salah seorang dari beberapa gelintir orang yang membantu mengusir kesepiannya di saat sulit, walaupun cuma sebentar saja?

"Bapak saat ini tidak bisa memberi imbalan apa-apa," katanya. Saya sampai tidak bisa berkata-kata.

Tak pernah jam karet

Ketika akan pulang, BK minta bertemu dengan istri saya Di ruang duduk, istri saya menyilakan BK duduk untuk minum teh dulu, tetapi BK menolak. "Terima kasih. Nanti suami Anda bisa dikira yang bukan-bukan, kalau saya berlama lama di sini," katanya.

Suatu kali, ketika ia datang, putri saya sedang membuat PR. BK berhenti sebentar di sebelahnya untuk melihat apa yang dibuat anak saya itu. Kemudian ia mengusap-usap kepala anak saya sambil berkata, "Belajar baik-baik, ya, Nak. Supaya nanti pandai!"

Kebetulan putri saya yang nomor tiga memasuki ruangan. "Wah, kau pasti ingin jadi dokter kelak, seperti ayahmu," katanya seraya menghampiri dan mengusap-usap kepala anak itu juga. Kedua anak saya itu kini sudah menjadi dokter gigi.

Pada suatu pagi BK datang tanpa iringan jip.

"Kok sendirian, Pak," tanya saya.

"Mereka belum datang, padahal saya tidak mau datang terlambat."

BK memang selalu datang sesuai perjanjian. Hal itu tentu sangat memudahkan bagi saya, yang antijam karet. Jenderal Bambang Sugeng ketika menjadi dubes RI untuk Vatikan pernah bergurau, "Saya mendapat kabar, kalau berobat pada Anda, pasien tidak boleh datang terlambat. Kata orang, tak peduli menteri, kalau terlambat sampai lima menit pasti ditolak."

Saya jelaskan bahwa hal itu sebetulnya bukan karena saya sok, tetapi demi keuntungan pasien sendiri. Tidak enak 'kan kalau pasien menunggu berjam-jam. Lagi pula saya tidak bisa bekerja dengan tenang kalau ditunggui banyak orang. Karena itulah saya membuat janji dulu dengan pasien dan saya selalu menepati janji saya.

Kelima jip pengawal BK baru datang pada saat BK hampir pulang.

Diduduki kawan maupun lawannya

BK memerlukan dua-tiga kali kunjungan setiap kali merasa giginya mengganggu. Suatu kali BK berkata, "Saya ingin berbicara blak-blakan dengan Pak Dokter. Saya ingin tinggal agak lama sedikit di Jakarta. Di Jakarta saya lebih dekat dengan anak anak. Mungkinkah itu?"

Setahu saya, saat itu BK tinggal di Bogor, tetapi kalau sedang membutuhkan perawatan gigi, BK tinggal di Jln. Gatot Subroto (kini Museum ABRI Satria Mandala). Dari sana BK hanya boleh pergi-pulang ke rumah saya. Namun, putra-putrinya boleh menemaninya di Jln. Gatot Subroto.

Saya menjawab, "Tentu mungkin, Pak. Waktu pengobatan bisa diulur. Seandainya diulur tiga minggu, cukup, Pak?"

BK kelihatan gembira sekali. "Wah, terima kasih banyak!" jawabnya. Saya sampai terharu karena hal sekecil itu saja bisa membuat bahagia bekas presiden yang sedang kesepian itu.

Saya jadi teringat bahwa kursi yang diduduki BK itu sebenarnya sering pula diduduki orang-orang yang sepaham maupun yang tidak sepaham dengannya. Sudiro, Hardi, Soenarjo, Sutan Syahrir, Maria Ulfah, Suwiryo, Sumanang, Adam Malik, Maruto Nitimihardjo, Roeslan Abdulgani, Muchtar Lubis, Rosihan Anwar, Oey Tjeng Hien, Soedjatmoko, Prijono, Muljadi Djojomartono, Maladi, B.M. Diah, Manai Sophiaan, Chaerul Saleh, Iskaq, Djatikusumo, Oemar Seno Adjie, Wirjono, Soeprapto, Sukardjo Wirjopranoto, Bambang Sugeng, dan Iain-lain.

Bahkan salah seorang Pahlawan Revolusi, Letjen S. Parman, masih duduk dengan santai di kursi itu, sekitar dua belas jam sebelum dibunuh dengan  kejam di Lubang Buaya. Saya sampai terguncang, ketika mendengar berita bahwa pasien saya mengalami penyiksaan yang mengerikan itu.

Selama lebih dari setahun merawat gigi BK, kami tak pernah membicarakan soal politik, tak pernah ia marah-marah dan percakapan kami selalu penuh gelak tawa. Saya teringat pada teman saya, Muchtar Lubis, yang semasa disekap bertahun-tahun di masa Orde Lama, juga selalu kelihatan tabah di kursi praktik saya. Saya sampai pernah bertanya kepadanya, "Muchtar, pernahkah kau menangis?"

"Hanya kalau sedang sendirian," jawab Muchtar.

Mengerti apa itu kesepian

Suatu kali BK pernah berkata, "Ibu juga ingin datang berobat kemari." Saat itu hampir terlontar dari lidah saya, "Ibu yang mana?" Namun, betapapun akrabnya hubungan kami, saya kira tidak sepatutnya saya mengeluarkan pertanyaan itu.

Saat itu dua anak saya sedang menuntut ilmu di Universitas Amsterdam. Kedua adik mereka akan segera menyusul. Jadi saya hanya akan berdua saja dengan istri saya di Jakarta. Kami pasti akan merasa sangat kehilangan. Jadi kami pikir, daripada keluarga kami terpisah-pisah, lebih baik kami pindah saja ke Amsterdam.

Ketika BK datang pada bulan Februari 1968, saya beritahukan rencana kami untuk pindah ke Negeri Belanda pada akhir Maret.
"Tidak perlu menjelaskan kepada Bapak apa artinya kesepian. Bapak mengerti. Kita masih akan berjumpa beberapa kali lagi 'kan?" jawabnya.

Pertengahan Maret, BK menyatakan ingin pulang ke Bogor dulu, padahal saya membutuhkan kedatangan BK sekali lagi untuk memasang tambalan emas. Kami berjanji akan bertemu untuk terakhir kalinya pada 21 Maret 1968.

Ternyata antara tanggal 21-30 Maret ada Sidang Umum MPRS. Saya diberi tahu yang berwajib bahwa BK tidak bisa mengunjungi saya pada tanggal 21 itu. BK ternyata juga tidak bisa datang pada hari-hari selanjutnya, padahal saya harus berangkat ke Negeri Belanda pada 30 Maret 1968. Terpaksa pemasangan tambalan emas pada gigi BK saya percayakan kepada rekan sejawat saya.

Walaupun setelah itu paling sedikit sekali setahun saya pulang ke tanah air, saya tidak pemah melihat BK kembali. (Intisari)


View the original article here

0 comments:

Posting Komentar